Antara Marah dan Benci
“Buat apa ngerasa ga suka sama orang, adanya cuma bikin kita sakit hati kan? Mending cuekin aja, terserah orangnya ngomong apa, yang penting kita ga buat salah apa-apa sama orang lain.Si Om Genit”
Sudah tak asing lagi kan dengan istilah “Om Genit”?? Itu lho panggilan sayang dari Nona Bau Bau untuk si kekasih hati, asyeeekk *romantis euy. Hehe
.
Dan quote diatas adalah salah satu nasehat yang disampaikan oleh Om
Genit ke Amel (ya iyalah bukan ke saya) ketika Amel sedang kesal. Bagi
yang pengen membaca ulang pesan sayang dari Om Genit, silahkan baca lagi
postingan Amel yang berjudul Mencoba Tidak Membenci Orang Lain.
Kalau menurut
sahabat, apakah sama antara benci dengan marah?? Setelah saya searching
di mbah google, saya mendapatkan bahwa definisi dari benci dan marah itu
hampir sama. Semuanya tentang perasaan tidak suka, jengkel dan lain
sebagainya. Tapi kalo menurut saya sendiri, benci dan marah itu berbeda.
Benci merupakan bagian dari marah, sedangkan marah belum tentu menjadi
benci. Karena benci itu waktunya bisa bertahun-tahun, sedangkan marah
kadang hanya berlangsung selama beberapa menit saja. Semua setuju kan??
Alhamdulillah *tenkyu tenkyu*

Tapi meskipun mood saya mudah berubah,
saya sering marah, tapi alhamdulillah saya tidak termasuk orang yang
mudah membenci orang lain. Ketika saya kelas 5 SD (kalau nggak salah),
itu adalah saat pertama kali saya membenci orang lain. Saya membenci dia
yang sudah mengacaukan hidup saya, saya membenci dia bertahun-tahun,
bahkan hingga akhirnya saya harus menerima dia sebagai bagian dari saya.
Setiap saya melihat dia, ada sebuah kemarahan yang selalu meluap di
hati saya, benci saya benar-benar luar biasa hebat #lebay.
Dan untungnya, selama saya hidup saya hanya mempunyai 2 orang yang saya
benci. Tapi semakin berjalannya waktu, semakin saya bisa memahami diri
saya sendiri, semakin saya percaya kalau Dia selalu ada di hati saya,
saya mulai bisa mengendalikan emosi saya. Saya sudah tidak membenci
mereka lagi, saya sudah bisa menatap mereka dengan perasaan yang datar,
meskipun saya masih belum bisa memaafkan atas perlakuan mereka ke saya.
Sudahlah tak usah dibahas lagi, kalo kata bung Roma sih yang lalu
biarlah berlalu.
Dulu saya orangnya sangat perasa, mungkin
itulah kenapa dulu saya sering marah dengan orang-orang disekitar saya
(cuma marah, tidak sampai membenci). Dan setelah saya memutuskan untuk berubah,
maka saya pun mulai belajar dari pengalaman-pengalaman saya. Seperti
yang Amel sebutkan dalam postingannya, saya pun melakukan hal yang sama
supaya saya bisa meminimalisir rasa kesal saya. Saya berusaha untuk
tidak memandang hanya dari sisi saya sendiri, tapi berusaha melihatnya
dari sisi dia yang sudah membuat saya kesal, saya mencari alasan kenapa
dia sampai membuat saya kesal. Dan pada saat itulah saya akan berusaha
meyakinkan diri saya bahwa rasa kesal yang sedang saya rasakan tidak
boleh berkembang menjadi benci, sambil mengingat lagi hal-hal baik yang
pernah orang tersebut berikan ke saya. Langkah terakhir ketika saya
sudah berdamai dengan perasaan saya, adalah dengan keluarnya sifat cuek
saya. Saya akan berusaha untuk tidak terjadi apa-apa selama beberapa
hari kedepan, dan kemudian akan mencoba bersikap normal lagi ke orang
tersebut. Alhamdulillah, selama pokok masalahnya ringan, saya selalu
berhasil menahan ego saya. Dan itu berarti cukup 2 orang saja yang
pernah saya benci selama hidup saya #bangga
Tidak ada manusia yang tidak pernah
marah, karena marah adalah salah satu sifat yang memang ada di dalam
diri manusia. Sebuah fitrah mungkin, asalkan kita bisa mengatur rasa
marah kita. Marah untuk kebaikan boleh, marah karena ada sebab pun
wajar, yang tidak boleh adalah marah tanpa alasan. Ngapain juga
capek-capek kita menyiksa diri kita sendiri hanya untuk sebuah rasa
marah yang kita tidak tahu apa sebabnya. Nggak mungkin juga kan ada
orang yang bilang, “saya kangen pengen marah”?? Nah jadi
sebelum kalian marah, pastikan ada alasan kenapa kalian harus marah. Dan
ingat, marah sewajarnya saja, jangan sampai berubah menjadi benci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar